Sebelum membahas jauh tentang Pemilu, sebaiknya mengetahui dulu sebenarnya makna dari Pemilu. Pemilu merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang berdasarkan pada demokrasi pancasila. Dengan demikian, Pemilu dapat diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Orang atau partai yang dipercayai, kemudian menguasai pemerintahan sehingga melalui Pemilu diharapkan dapat menciptakan pemerintahan yang representatif.[1]
Penyelenggara negara, khususnya pimpinan eksekutif dan anggota legislatif dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum. Legitimasi pemerintahan terutama bukan pada keahlian dan kepintaran mereka, tetapi pada persetujuan dan pilihan rakyat.[2] Rakyat paling berhak dan paling mengetahui tentang siapa yang layak menjadi penyelenggara negara, nasional ataupun daerah. Pemilihan umum yang bebas, adil kompetitif dan berkala harus ada di sistem pemerintahan Indonesia. Pemilihan pejabat negara secara langsung oleh rakyat yang berlangsung berulang-ulang akan mengkondisikan setiap pejabat negara menjadi pelayan rakyat. Semakin banyak pejabat negara yang dipilih oleh rakyat, semakin banyak pejabat negara yang melayani rakyat, dan kebijakan publik semakin sesuai aspirasi rakyat.[3]
Pemilu merupakan satu dari sekian hal yang tampak sebagai bukti adanya kebebasan berpendapat. Dalam Pemilu setiap individu memiliki hak untuk menentukan siapa, dari partai politik mana yang akan mereka pilih. Tidak ada pembatasan atau keharusan dalam menjatuhkan suara mereka pada pilihan tertentu. Adanya Pemilu ini benar-benar dapat menunjukan berjalannya pasal dalam UUD 1945 terkait kebebasan berpendapat. Warga negara berhak menyatakan pendapat mereka sendiri tanpa adanya hukuman yang keras mengenai masalah-masalah persamaan politik yang didefinisikan secara luas, termasuk kritik terhadap para pejabat, pemerintah, rezim, tatanan sosial-ekonomi dan ideologi yang ada. Individu bebas untuk mengambil keputusan sesuai keinginanya, dan sekali ia memutuskan, maka ia bertanggung jawab atas akibat dari keputusan itu. Oleh karena itu kebebasan tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab. Setiap orang yang menggunakan kebebasannya, maka pada saat yang sama ia harus memikul tanggung jawab sebagai konsekuensi dari penggunaan kebebasan.
Ada pula hak kewarganegaraan yang inklusif (mencakup semuanya) yang dimaksud adalah bahwa tak seorang dewasa pun yang menetap di suatu negara dan tunduk pada undang-undang negar tersebut dapat diabaikan hak-haknya. Hak-hak tersebut meliputi hak memberikan suara untuk memilih para pejabat dalam pemilihan umum yang bebas dan adil; hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan; hak bebas untuk berpendapat; hak untuk membentuk dan berpartisipasi dalam organisasi politik dan lain sebagainya.[4]
Ada pun sistem Pemilu yang baik dapat dinilai dengan adanya kriteria sebagai berikut:
1. Akuntabilitas (Accountability)
Suatu sistem Pemilu dapat menghasilkan akuntabilitas yang dapat diukur melalui tingkat ketanggapan pemerintah terhadap tuntutan publik dan kemampuan publik untuk mengakhiri suatu pemerintahan yang tidak akuntabel melalui Pemilu.
2. Keterwakilan (Representativeness)
Sistem Pemilu dapat menghasilkan pemerintah yang secara luas mewakili kepentingan pemilih.
3. Keadilan (Fairness)
Sistem Pemilu dapat memperoleh kepercayaan tinggi dari para peserta Pemilu dan pemilih bahwa proses pemilihan secara sistematis dalam pelaksanaannya tidak akan diskriminatif terhadap mereka. Hal ini akan meningkatkan dukungan terhadap hasil pemilihan umum
4. Persamaan hak-hak untuk setiap pemilih
Suatu sistem Pemilu dapat memberi bobot suara yang sama bagi setiap pemilih.
5. Menciptakan pemerintahan yang efektif dan akomodatif
Sistem Pemilu dapat menghasilkan stabilitas dalam pemerintahan yang memungkinkan manajemen negara yang efektif. Sistem pemilihan juga diharapkan dapat mendukung konsultasi dan kompromi yang memadai antara kekuatan-kekuatan politik.
6. Perkembangan partai-partai dan perwakilan lokal yang kuat secara relatif
Sistem Pemiihan dapat menghasilkan keseimbangan antara partai-partai politik dan besarnya kontrol yang dimiliki pemilih terhadap tindakan-tindakan mereka.
7. Sistem Menyediakan kemudahan akses melalui kesederhanaan dan refleksi pilihan warga negara yang relatif tepat. Sistem Pemilu dapat memungkinkan pemilih untuk mengekspresikan pilihan mereka secra akurat dengan cara yang sederhana untuk dipahami oleh semua pemilih.[5]
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi rakyat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolok ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying dan sebagainya.[6] Corak khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dimuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar.
Menurut Robert Dahl dalam bukunya On Democracy (Terjemahan Perihal Demokrasi) menyatakan bahwa Pemilu merupakan salah satu lembaga politik yang dibutuhkan oleh demokrasi skala besar. Robert Dahl menyatakan demokrasi skala besar membutuhkan:
1. Para pejabat yang dipilih
2. Pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala
3. Kebebasan berpendapat
4. Akses ke sumber-sumber informasi alternatif
5. Otonomi asosiasional
6. Hak Kewarganegaraan yang inklusif (mencakup semuanya)
Dengan demikian Pemilu memiliki hubungan yang signifikan dengan demokrasi apabila peraturan dan pelaksanaannya menjamin terlaksananya hak asasi manusia terutama hak sipil dan hak politik. Misalnya adanya jaminan kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, bergerak, jaminan atas keamanan, dan proses hukum yang semestinya.
Demokrasi berarti pemerintahan rakyat, yang secara bersama-sama memerintah diri mereka sendiri. Menyuarakan pendapat untuk kepentingan rakyat itu pula. Dengan menggunakan hak berpendapat rakyat memilih sebagian dari antara mereka menjadi penyelenggara negara, yang bertugas melayani seluruh rakyat sesuai kehendak rakyat. Demokrasi sendiri merupakan gabungan antara cara dan tujuan. Berbeda dengan pemerintahan diktator yang memisahkan tujuan dan cara. Segala cara bisa ditempuh demi pencapaian tujuan. Demokrasi memang bukan pemerintahan demi efisiensi, tetapi pemerintahan demi tanggung jawab, oleh karena itu pengambilan keputusan menjadi lambat. Tetapi, sekali keputusan ditetapkan, dapat diharapkan lapisan luas masyarakat akan mendukung pelaksanaannya dan oleh karena itu akan lebih terjamin keberhasilannya.
[1] Cholisin,dkk. 2007. Dasar-dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY Press. Hlm. 128
[2] Merphin Panjaitan. 2011. Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara. Jakarta: Permata Aksara. Hlm.158
[3] Ibid, hlm.159
[4] Cholisin, dkk. Ibid, hlm. 137-138
[5] Wahyudi Kumorotomo dan Agus Pramusito(editor). 2009. Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional. Yogyakarta: Gava Media dan Map-UGM. Hlm. 38
[6] Miriam Budiharjo, ibid. Hlm. 461
SUMBER BAHAN
Cholisin,dkk. 2007. Dasar-dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY Press.
Merphin Panjaitan. 2011. Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara. Jakarta: Permata Aksara.
Miriam Budiharjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Redaksi Sinar Grafika. Persandingan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. 1945. 2008. Jakarta: Sinar Grafika.
Wahyudi Kumorotomo dan Agus Pramusito(editor). 2009. Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional. Yogyakarta: Gava Media dan Map-UGM.
0 komentar:
Posting Komentar