Minggu, 18 Desember 2011

PERANAN GITO GATI DALAM UPAYA PELESTARIAN BUDAYA DI YOGYAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Jl. Gito-Gati pada tanggal 15 Mei 2011 diresmikan oleh Bupati Sleman Sri Purnomo sebagai nama jalan yang menghubungkan perempatan Denggung dengan perempatan Grojogan, Pandowoharjo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sebuah jalan yang tergolong memiliki akses utama dalam sistem transportasi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jalan beraspal mulus kira-kira lebar lima meter dan panjangnya hampir dua kilometer itu merupakan penghubung jalan provinsi, yakni Jalan Magelang dan Jalan Kaliurang. Memanjang mulai dari Denggung (sisi timur kompleks perkantoran Sleman ke timur sampai menembus Jalan Monumen Jogja Kembali). Ini merupakan sebuah akses jalan yang tergolong besar, namun pemerintah setempat bangga menggunakan nama tokoh lokal.
Peresmian Jalan Gito Gati pun dimeriahkan dengan pagelaran wayang semalaman suntuk. Di dalamnya diselangi juga pertunjukan kethoprak dalam lakon Limbukan. Dalangnya putra dari Pak Gito dan Pak Gati, Suwondo dan Ki Bayu Sugati. Kolaborasi wayang dengan kethoprak sekaligus menutup rangkaian acara puncak HUT ke-95 Pemerintah Kabupaten Sleman. Hal ini juga membuktikan adanya perhatian dari pihak pemerintah setempat terhadap seniman lokal serta menghargai peranan tokoh kesenian tersebut. (Dalam: http://www.krjogja.com/news/detail/82562/Pemkab.Resmikan.Jalan.Gito.Gati.)
Gito Gati merupakan dua bersaudara (kembar), keduanya merupakan seniman lokal yang serba bisa, namanya pun telah mengharumkan Kabupaten Sleman serta Yogyakarta pada umumnya. Sugito dan Sugati adalah dua seniman yang terlahir kembar, darah seni dari ayah telah mengalir pada diri mereka. Peranan keduanya seperti apa dalam melestarikan budaya lokal sehingga pemerintah setempat memilih nama seniman kembar tersebut dijadikan sebagai nama jalan. Keseluruhan tadi membuat saya sebagai peneliti tertarik untuk menjadikan hal ini sebagai bahan penulisan karya tulis sejarah, dengan harapan dapat menyumbang referensi bagi karya selanjutnya dan adanya sebuah karya yang membahas tentang peranan Gito Gati dalam pelestarian budaya sehingga nama keduanya diusulkan hingga diangkat menjadi nama sebuah jalan di Kabupaten Sleman.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang kehidupan Gito Gati ?
2.      Bagaimana peranan Gito Gati melestarikan budaya di Yogyakarta?
3.      Bagaimana persepsi masyarakat terhadap peranan Gito Gati?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui latar belakang kehidupan Gito Gati.
2.      Menjelaskan peranan Gito Gati melestarikan budaya di Yogyakarta.
3.      Mengetahui persepsi masyarakat terhadap peranan Gito Gati.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Kehidupan Gito Gati
Sugito Sugati terlahir kembar pada tahun 1933, Sugito Sugati merupakan putra dari Ki Cermowaruna. Kedua seniman bermukim di Dusun Pajangan, Pendowoharjo, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gito Gati merupakan tokoh pewayangan dan kethoprak andalan Kabupaten Sleman. Keahlian dalam kehidupan seni sudah tidak diragukan lagi, kepiawaian dalam memainkan benda mati (wayang) serta bermain peran dalam kethoprak sudah menjadi rahasia umum di wilayah Yogyakarta. Gito Gati lahir dari keluarga yang mempunyai jiwa seni yang tinggi, sehingga setelah terlahir di dunia keduanya terlibat dalam kesenian baik wayang maupun kethoprak.
Gito Gati setelah besar semakin yakin dalam melangkahkan jejaknya di pewayangan serta Kethoprak. Keduanya tidak mengikuti jejak para tetangga lingkungan tempat tinggal mereka yang mayoritas berprofesi sebagai petani. “Bapak dari seniman, lahirnya langsung menjadi seniman” seperti itu ucap dari Bapak Sarji (beliau merupakan ketua RW Dusun Pajangan). Gito Gati apabila dilihat sepintas sangat sulit dibedakan oleh orang, terkadang kerabatnya saja sulit untuk membedakan antara keduanya. Gito Gati, saudara kembar yang memang dapat dikatakan kembar benar-benar identik (hampir tidak terdapat perbedaan sama sekali).
Gito Gati saat itu bergabung dengan PS BAYU, kepanjangan dari PS BAYU adalah Persatuan Seni Bagian Yogyakarta Utara. PS BAYU yang didirikan oleh Bapak S.Condromowo, beliau dulunya sebagai pegawai penerangan kabupaten Sleman. Setelah keduanya bergabung dengan PS BAYU, semakin meningkat kesenian kethoprak dan wayang, namun sebelumnya perlu dikemukakan disini tentang kehadiran seorang wanita yang merupakan istri kedua Pak Gati. Kisah cinta Pak Gati dengan istri keduanya bermula dari PS BAYU. Putri dari pendiri PS BAYU, Ibu Jiyem menikah dengan Pak Gati. Dulunya Ibu Jiyem adalah murid Pak Gati di PS BAYU, dan mereka sering terlibat satu panggung dalam permainan peran dalam kethoprak, bahkan Ibu Jiyem pun ahli dalam dunia kesenian pula, beliau memiliki kemampuan yang tidak diragukan lagi. Sinden, ngethoprak, dan nari pun beliau mampu melakukannya. Saat ini Ibu Jiyem lebih sering menjadi sinden dalam pewayangan sedikit meninggalkan menari karena usia beliau yang semakin tua. Pak Gati bersama Ibu Jiyem dikaruniai dua anak, sedangkan dengan istri pertama (Ibu Sugimah) mendapatkan empat orang anak. Saudara kembar yang lain Pak Gito mempunyai empat orang anak. Seluruh keturunan Gito Gati memilih kehidupan di garis seni, meneruskan orang tuanya. Salah satu anak Pak Gati adalah Ki Bayu Sugati, yang saat ini mengelola PS BAYU. Pak Gati memberikan nama anak dengan BAYU, yang mungkin karena beliau dulunya bergabung dengan PS BAYU. Sang kakak, Basuki Supriyatman dikenal aktif pula di dunia seni tradisional. Ternyata yang aktif dalam seni tidak hanya dari anak Pak Gati saja yang namanya melalang buana, namun putra dari Pak Gito juga demikian. Pak Suwondo adalah seorang dhalang, dan Bambang Rabies sebagai pelawak tenar wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Pada tahun 1996 Pak Gito meninggal karena kelelahan setiap malam menerima job, sedangkan Pak Gati meninggal pada tahun 2009 karena sakit stroke yang menyerangnya. Dapat dikatakan berpijak dari seni, berproses dengan seni dan berakhir dalam seni pula keluarga Gito Gati.

B.     Peranan Gito Gati Melestarikan Budaya di Yogyakarta
Sugito dan Sugati membangun masyarakat petani  di lingkungan desanya dan mengembangkan kethoprak, wayang orang serta wayang kulit. Menjadi petani, seperti yang kita ketahui bahwa mayoritas masyarakat Indonesia saat itu berprofesi sebagai petani sehingga Indonesia lebih dikenal sebagai negara Agraris. Lahan hijau terbentang luas, tanah hijau subur yang di manfaatkan bagi masyarakat untuk mencari nafkah. Tak lain pula masyarakat Dusun Pajangan, Pendowoharjo, Kabupaten Sleman yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Keberhasilan Sugito dan Sugati membangun masyarakat petani  terbukti sekitar tahun 1960-an terbentuk tim karawitan, kethoprak dan wayang orang yang beranggota warga Desa Pajangan sendiri. Gito dan Gati mengajak tetangga-tetangganya untuk berlatih kethoprak. Dari Desa pajangan ini pula grup kethoprak bernama PS BAYU menjadi lebih terkenal di seluruh wilayah Jawa tengah dan DIY.
Nama Gito Gati pun dikenal masyarakat luas sebagai pelawak, di samping tetap menekuni kethoprak, bahkan dalam sejarah lawak gaya Mataraman, Gito Gati bisa dikatakan  sebagai generasi kedua setelah surutnya pelawak Basiyo, Atmonadi, dan lainnya. Dari kerja seni Gito Gati inilah, keturunannya lebih banyak  mengandalkan hidup dari seni tradisi ini meskipun hidupnya tetap tinggal di lingkungan masyarakat petani. Salah satu anak Gito, Bambang Rabies adalah pelawak yang punya nama di Yogyakarta dan pelosok-pelosok desa di Jateng. ( Dalam: TH Pudjo Widijanto, “Jalan Gito Gati - Menghargai Karya Komunal Agraris”,  Kompas, 14 Juni 2011)
Munculnya PS BAYU yang dirintis oleh Gito Gati yang dilanjutkan oleh anak-anaknya ini merupakan kearifan lokal yang sangat berharga dan penting untuk dilestarikan. Ketekunan dalam menjalani dunia kesenian sehingga memberikan manfaat luar biasa bagi masyarakat sekitar kediaman beliau serta pemerintah setempat. Segala usaha dari pemerintah yang berkeinginan untuk mengenalkan kepada masyarakat terutama generasi muda tanpa adanya dukungan segelintir orang yang berkompeten dalam dunia seni dirasa akan mengalami kesulitan. Dengan adanya peranan Gito Gati dalam mengenalkan kesenian wayang dan Kethoprak akan membantu pemeritah dalam melestarikan budaya lokal seiring dengan berkembangnya zaman. Dari Gito Gati lahir keturunan seniman yang mampu meneruskan jejak kedua orang tuanya. Diharapkan dari dua pendahulu seni ini, ada regenerasi bidang kesenian khususnya. Dari tangan Gito Gati, Desa Pajangan menjadi desa seni dan diharapkan dari desa itu lahir lagi seniman-seniman berkualitas seperti almarhum.

C.    Persepsi Masyarakat terhadap Peranan Gito Gati
“Pemberian nama jalan ini merupakan penghargaan kepada seniman yang lahir kembar, almarhum Sugito dan sugati, yang telah berkiprah mengembangkan kesenian wayang dan ketoprak.” Kata Sri Purnomo. Ungkapan yang terkesan klise ini sesungguhnya juga menyiratkan bagaimana dia menghormati jasa-jasa seseorang. Dengan kata lain, Pak Purnomo ingin menempatkan sebutan pahlawan lebih kepada makna, bukan dalam tataran artifisial. Artinya, bukan sebatas nama besar yang mengangkat senjata dan meriam. Karena, itu pemberian nama Gito Gati sesungguhnya telah terjadi penghormatan terhadap sejarah lokal, kultural, sekaligus mengangkat harkat dan martabat sebuah komunal masyarakat agraris yang memang berjasa untuk daerahnya. (Kompas, Selasa 14 Juni 2011).
Gito Gati selain sebagai tokoh seni tradisional yang dimiliki Kabupaten Sleman, beliau-beliau merupakan tokoh yang menjadi panutan masyarakat sekitar tempat tinggal mereka. Bahkan Ki Sugati pernah menjabat sebagai kepala Dukuh dan saat ini posisi tersebut digantikan oleh Ibu Prapti anak menantu Pak Gati, Beliau adalah istri dari Ki Bayu Sugati, Ki Bayu Sugati adalah Putra dari Pak Gati yang kini meneruskan perjuangan ayah sebagai dalang wayang kulit. “Gito Gati adalah Bapak desa yang sangat kami hormati. Kami bangga. Kiprah mereka di dunia kesenian patut diteladani, apalagi kesenian tradisional kini mulai langka,” Ujar Bapak Bambang Harniyanto selaku Kepala Desa Pandowoharjo. (Harian Jogja, 19 Mei 2011)
Wajah kedua seniman asli Kabupaten Sleman ini sudah tidak lagi asing bagi masyarakat sekitar ataupun seluruh masyarakat Yogyakarta ditambah lagi usaha yang dilakukan dalam melestarikan kebudayaan. Jalur melestarikan budaya agar sampai membumi, merasuk hingga ke jiwa masing-masing warga. Semboyan itu yang dimiliki oleh Gito Gati, hal itu di ungkapkan oleh Pak Sarji selaku Ketua RW setempat. Menurut pengakuan beliau, Gito Gati dalam dunia kesenian menomor duakan urusan bisnis. Walaupun tanpa disadari dari seni mereka dapat meraih kesuksesan. Prioritas utama adalah melestarikan kebudayaan lokal, dalam bahasa jawanya Nguri-uri budaya jawi.
Ketika mengucap nama Gito Gati, sudah pasti yang terselib di benak masyarakat adalah seniman handal yang melegenda di Sleman. Hal ini pun di akui oleh Bupati Sleman Bapak Sri Purnomo, yang kemudian memutuskan untuk memakai nama keduanya sebagai nama jalan. Hal ini dilakukan dalam rangka mengenag jasa beliau dalam melestarikan kebudayaan di Yogyakarta. Hal ini juga diungkapkan oleh Asisten Bidang Administrasi dan Pembangunan Kabupaten Sleman, Pak Joko Handoyo di ruang Humas Pemkab Sleman, “Kurang lebih jaraknya 2 kilometer. Kami berikan jalan tersebut dengan nama Gito Gati untuk mengenang kedua tokoh kesenian yang pernah dimiliki Sleman,” (Dalam: http://www.krjogja.com/news/detail/82562/Pemkab.Resmikan.Jalan.Gito.Gati.
BAB III
KESIMPULAN

Sugito dan Sugati merupakan dua seniman kembar yang lahir pada tahun 1933, kedua seniman tersebut merupakan putra dari Ki Cermowaruna. Kiprahnya dalam melestarikan budaya khususnya seni kethoprak dan pewayangan sudah menjadi rahasia umum. Keberhasilan Sugito dan Sugati membangun masyarakat petani  terbukti sekitar tahun 1960-an terbentuk tim karawitan, kethoprak dan wayang orang yang beranggota warga Desa Pajangan sendiri. Gito dan Gati mengajak tetangga-tetangganya untuk berlatih kethoprak. Penduduk sekitar selain berprofesi sebagai petani, mereka memiliki kemampuan di bidang seni. Kiprahnya sebagai seniman serta menjadi panutan masyarakat, sehingga PEMKAB Sleman menggunakan nama kedua seniman kembar untuk nama jalan. Pada tanggal 15 Mei 2011, telah diresmikan Jln. Gito-Gati oleh Bupati Sleman Sri Purnomo. Penggunaan nama seniman kembar tersebut menjadi nama jalan sebagai wujud penghargaan atas kiprahnya dalam melestarikan kesenian kethoprak dan wayang.










Daftar Pustaka

Sumadiyono, “ Penghormatan untuk sang legenda” , Harian Jogja,19 Mei 2011
TH Pudjo Widijanto, “Jalan Gito Gati - Menghargai Karya Komunal Agraris”, Kompas, 14 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More