Minggu, 18 Desember 2011

Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memilki keistimewaan seperti halnya Daerah Istimewa Aceh di pulau Sumatera. Yogyakarta yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur DIY dan ditetapkan bukan dipilih. Itu sebagai keistimewaan Yogyakarta yang akan selalu menjadi keinginan rakyat Yogyakarta dan akan selalu diperjuangkan sampai kapanpun. Sebuah pertimbangan penting dalam pembahasan keistimewaan DIY adalah konteks sejarah yang melatarbelakanginya.
Kesultanan Yogyakarta ada lebih dahulu dibandingkan NKRI. Pada masa kolonial, Sultan diakui otoritasnya sebagai penguasa wilayah Yogyakarta. Ini berbeda dengan kekuasaan monarki lainnya di Nusantara yang setelah ditaklukkan langsung dihapuskan Belanda. Ikatan kuat antara Sultan sebagai pengayom dan rakyat sebagai kawulanya. Berdasarkan pertimbangan penasihat pemerintahan kolonial saat itu, penghapusan kesultanan justru akan berpotensi besar menimbulkan gejolak di masyarakat. Hal serupa juga berlanjut pada masa penjajahan Jepang ketika Kesultanan Yogyakarta berstatus daerah istimewa yang memiliki pemerintahan otonom. Seharusnya Pemerintah Pusat saat ini dapat berkaca pada Pemerintaan Kolonial pada tempo dulu.
Selo Soemardjan dalam bukunya, Perubahan Sosial di Yogyakarta, pun menjelaskan, ketika Jepang datang menggantikan Belanda untuk menjajah negara ini tahun 1942, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX meminta agar diperbolehkan memerintah rakyat Yogyakarta secara langsung, tidak melalui pepatih dalem. Jepang meluluskan permintaan itu, bahkan melantik untuk kedua kalinya Raja Keraton Yogyakarta HB IX agar kokoh kedudukannya. Jepang memberi istilah Koti atau Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diperintah HB IX. Ikatan kuat antara raja dan rakyat itu, hingga berlangsung hingga zaman modern. Salah satu yang menonjol adalah pada masa kepemimpinan HB IX, yang dinilai sebagai pemimpin yang benar-benar menunjukkan karakter kerakyatannya.
      Mengenai konteks keistimewaan pada masa kemerdekaan,  melihat hal itu jelas tercantum dalam Amanat 05 September 1945 yang dikeluarkan HB IX dan Paku Alam (PA) VIII. Amanat itu menyatakan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam NKRI dengan status daerah istimewa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya. Amanat itu dijawab Presiden Soekarno dengan menyerahkan Piagam Kedudukan kepada HB IX dan PA VIII sebagai tanda persetujuannya pada 6 September 1945 ( tertanggal 19 Agustus 1945 ). Hal itu juga tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945, sebelum perubahan yang menyatakan, negara menghormati daerah yang memiliki status istimewa. Tidak bisa dipungkiri, ruh Keistimewaan DIY adalah kepemimpinan Sultan sebagai kepala daerah. Tanpa itu, keistimewaan tidak ada maknanya.
Mengenai Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta sampai saat ini belum juga selesai. Bahkan ketegangan antara rakyat Yogyakarta dengan pemerintah pusat semakin memanas. Pemerintah pusat seharusnya dalam melakukan pembahasan RUUK DIY tetap mempertimbangkan aspirasi rakyat Yogyakarta khususnya. Seperti yang telah kita ketahui Demokrasi menurut Abraham Lincoln “ dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ” . Itulah makna sederhana tentang demokrasi. Kenyataan yang membuat rakyat Yogyakarta bergejolak adalah Pemerintah Pusat mengabaikan aspirasi rakyat Yogyakarta dalam pembuatan RUUK DIY. Berikut beberapa isi Draf RUUK DIY :
1.      Gubernur dan wakil gubernur dipilih melalui pemilihan DPRD.
2.      Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Pakualam menjabat gubernur utama dan wakil gubernur utama.
3.      Pemerintah daerah yang terpilih harus meminta persetujuan sultan dalam pembuatan anggaran dan kebijakan.
4.      Jika Sultan dan Pakualam mencalonkan diri, pencalonan, itu bersifat perseorangan, tanpa melalui partai politik.
Sudah sepantasnya pemerintah pusat mendengarkan aspirasi rakyat Yogyakarta. Bahkan Sri Sultan Hamengku Buwono ke-X meminta pemerintah pusat memperhatikan aspirasi rakyat Yogyakarta menyusul aksi besar-besaran ‘sidang Rakyat’ dan keputusan DPRD. “Pemerintah harus menghargai aspirasi rakyat” katanya dikutip dari Metro TV.
Pemerintah pusat memberikan penegasan bahwa pembahasan RUUK DIY, tidak berkaitan dengan sikap DPRD DIY. Sikap pemerintah pusat sungguh sangat mengherankan, Mereka tidak menyadari untuk siapa RUUK DIY. Keseluruhan itu pasti untuk rakyat Yogyakarta dan yang akan menjalankan adalah DPRD DIY, tetapi mengapa mereka membuat RUUK DIY mengesampingkan apa yang menjadi kehendak rakyat Yogyakarta. Keinginan yang diharapkan rakyat Yogyakarta adalah mempertahankan sebuah sistem pemerintahan yang selama ini ada. Sistem yang selama ini terbukti tidak bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi.
Para penguasa negeri, membuat kecewa rakyat Yogyakarta sekaligus membuat tidak ada kepercayaan lagi kepada mereka. Penguasa negeri seharusnya dapat berkaca pada pengalaman yang sudah sering terjadi di kancah politik negeri ini. Pemilihan Gubernur, walikota, bupati yang didamba-dambakan sebagai wujud dari adanya demokrasi. Tetapi,  apa yang terjadi pada kenyataanya mereka berkorupsi ria. Lihatlah, Sri Sultan Hamengku Buwono yang bergabung dalam roda pemerintah tidak pernah tersangkut pada kasus korupsi padahal melalui penetapan bukan pemilihan.
Tujuan yang hendak dicapai dengan demokrasi itu adalah kehidupan yang bahagia, sejahtera, rukun dan damai. Selama ini tanpa pemilihan kehidupan itu ada dimasyarakat Yogyakarta. Penghargaan atas adanya keistimewaan adalah merupakan bagian dari keindahan dan kekayaan dari sistem demokrasi dan hukum di Indonesia. Sebuah kekeliruan besar jika menuduh Yogyakarta menganut sistem Monarki yang bertentangan dengan sistem demokrasi Bangsa ini.
Yogyakarta yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur DIY dan ditetapkan bukan dipilih. Itu sebagai keistimewaan Yogyakarta yang akan selalu menjadi keinginan rakyat Yogyakarta dan akan selalu diperjuangkan sampai kapanpun.  Pembuktian yang kuat sudah terlihat jelas unjuk rasa besar-besar yang dilakukan rakyat Yogyakarta sudah menjadi kekuatan adanya dukungan mayoritas rakyat Yogyakarta yang menginginkan penetapan bukan pemilihan.
Sesungguhnya Pemerintah pusat bisa dengan mudah mengesahkan RUUK DIY jika mendengarkan aspirasi rakyat Yogyakarta. Pasti tidak ada pula jaminan dari pemerintah pusat jika sudah menerapkan UUK DIY maka kehidupan Yogyakarta menjadi lebih nyaman, aman, tentram dan damai seperti saat bersama Sultan yang sekaligus menjadi Gubernur. Yang ada roda pemerintahan menjadi rumit bahkan permasalahan akan semakin kompleks. Karena, pemerintah yang akan menjalankan adalah rakyat Yogyakarta khususnya. Namun, apabila yang menjadi dasar jalannya pemerintahan saja tidak dicintai bahkan tidak menjadi kehendak rakyat apa bisa pemerintah itu berjalan dengan baik.
Jika  penerapan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur benar-benar dilakukan oleh pemerintah pusat. Sudah pasti kehidupan rakyat Yogyakarta tidak akan seperti sedia kala. Adanya orang-orang yang mencalonkan dirinya yang berasal dari partai politik akan membuat kekacauan dan perpecahaan diantara rakyat Yogyakarta. Persaingan untuk menduduki kursi pemerintahan akan membuat orang saling bersaing menjadi berebut dan saling menjatuhkan satu sama lain. Hal ini akan membuat pecah rakyat Yogyakarta yang dulunya bersatu padu dalam menghadapi kehidupan yang ada.
Tidak hanya itu, setelah seseorang terpilih untuk menjadi Gubernur dan wakil Gubernur tidak kecil kemungkinan mereka lupa akan janji-janji yang diutarakan ketika di awal kampanye pemilihan. Saat ini yang diperlukan kesadaran bagi keseluruhan komponen masyarakat, kita melihat pengalaman yang telah ada saja. Hampir seluruh pemimpin yang ada di negeri ini menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi atau segelintir orang saja. Bukan tidak mungkin mereka yang terpilih nantinya juga bersikap demikian.
Berbeda konsepnya jika Sri Sultan dan Pakualam sebagai Gubernur dan wakil Gubernur dilakukan secara penetapan. Beliau memimpin lebih hati-hati dalam bertindak. Sri Sultan melakukan korupsi atau menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi itu hal yang mustahil. Hal ini karena adanya rasa tanggung jawab kepada kepemimpinan selanjutnya yang menggantikan kepemimpinan mereka yang satu garis keturunan. Tidak hanya itu melekatnya nilai-nilai luhur telah mendarah daging pada diri mereka. Itulah yang memberikan keyakinan pada rakyat Yogyakarta menggunakan penetapan bukan pemilihan, jangan anggap remeh rakyat Yogyakarta. Kami memiliki jiwa perlawanan yang gagah berani hingga apa yang menjadi tujuan kami dapat tercapai. Dari tinjauan secara historis, sosiologis, dan politis, pemerintahan di bawah kepemimpinan Sultan adalah sistem yang paling tepat bagi Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More